Senin, 17 Mei 2010

PRIOK “MENANGIS” DARAH

Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada tanggal 14 April 2010 memakan banyak korban. Aksi pembongkaran makam Mbah Priok yang dilakukan oleh pihak Satuan Polisi Pramong Praja (Satpol PP) sangat tidak manusiawi. Bentrokan antara Satpol PP dengan masyarakat sampai menyebabkan beberapa korban tewas dan sedikitnya 80 orang lainnya luka-luka.Bongkar secara paksa dan diawali dengan kekerasan membuat warga berontak. Perilaku Satpol PP tidak memperlihatkan dirinya sebagai aparat pemerintah daerah yang seharusnya mengayomi warganya.
Perilaku kekerasan sepertinya menjadi bagian keseharian mereka. Bukan di Koja saja mereka memperlihatkan sikap pamer kekuasaannya, tetapi dalam tindak tanduk sehari-hari mereka selalu mempertontonkan sikapnya yang menyakiti hati warga dan membuat warga “gerah” dengan Satpol PP.
Satpol PP melakukan penggusuran, bukan rumah penduduk yang akan diobrak-abrik, namun areal pemakaman. Makam keramat Mbah Priok, seorang ulama kelahiran Palembang tahun 1727. Hal semacam ini pernah tejadi pada masa Orde Baru, namun yang melakukan aksi “pembantaian” adalah tentara. Ketika hal itu terjadi di zaman Orde Baru, kita bisa memahami karena sistem politik yang berlaku adalah sistem otoriter yang cenderung represif. Ketika kemudian kita melakukan reformasi dan mengubah sistem politik menjadi demokrasi, maka sikap dan perilaku kita seharusnya berubah.
Tragedi berdarah ini bisa terjadi dikarenakan tidak adanya mediasi dan komunikasi yang baik antara pihak Satpol PP dengan masyarakat sekitar. Cara negosiasi dan persuasi itulah yang seharusnya dipakai ketika hendak membebaskan lahan milik PT Pelindo di Koja. Apalagi di daerah tersebut tedapat makam yang sangat diAgungkan oleh warga. Jika sikap yang ditunjukkan Satpol PP selalu menggunaan kekuasaan dengan kekerasan seperti itu, jelas warga setempat merasa tidak terima dan dengan segala yang mereka punya, mereka gunakan untuk melawan Satpol PP, hingga akhirnya menimbulkan duka dan luka yang berkepanjangan.
Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika sikap yang ditunjukkan Satpol PP tidak mengedepankan kekerasan dan masih mengandalkan asas kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, Satpol PP dibentuk tidak hanya untuk menertibkan jalanan atau lokasi dengan cara yang benar, justru dengan sikap arogan dan dengan paksaan. Orang-orang yang tergabung dalam Satpol PP seharusnya tidak hanya “memperbesar” otot dan badannya, namun harusnya “memperbesar” hati dan akal pikirannya.
Jika mereka melakukan tugas dengan hati dan pikiran yang bijaksana, semua ini tidak akan terjadi. Kejadian-kejadian dari bentuk kekerasan yang dilakukan pihak Satpol PP sering mengudang rasa sakit hati warga yang kemudian akhirnya diwarnai dengan aksi bentrok. Sangat disayangkan apabila masyarakat telah berpandangan negatif tentang Satpol PP. Tapi jika sikapnya masih saja seperti itu, maka pandangan dan pikiran itu akan terus melekat. Bahwa Satpol PP adalah aparat pemerintah daerah yang arogan, keras, tidak menjunjung asas kemanusiaan, brutal, dan sebagainya.

Yuliani Noorsafitri (153080190)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar