Pendidikan anak usia dini perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Berbagai hasil studi menunjukkan, jika pada masa usia dini terutama masa emas (4 tahun ke bawah) seorang anak mendapat stimuIasi maksimal, maka potensi anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, menurut penelitian para ahli pendidikan, pembentukan potensi belajar pada seseorang sebanyak 50% terjadi pada usia 0-4 tahun. Karena itu, usia balita yang disebut sebagai masa pembentukan adalah waktu paling tepat menanamkan minat anak untuk membaca. Seorang psikolog dari Universitas Rutgers di New Brunswick, New Jersey, Judith A Hudson Ph.D mengatakan, orangtua dapat mulai memperkenalkan buku pada anak sejak usianya 6 bulan. Pada usia tersebut, bayi sangat menyukai buku-buku sederhana yang dilengkapi banyak gambar dan lambang.
Para ahli meneliti bahwa cinta buku (minat baca) biasanya lahir dari rumah. Jika orang tuanya, atau orang dewasa yang tinggal serumah, cinta buku dan senang membaca maka hampir bisa dipastikan anak juga akan gambang tertular. Jika orang tua senang membaca maka dengan mudah buku-buku akan dijumpai di berbagai tempat di rumah. Anak menjadi terbiasa melihat buku dan jika tidak ada yang dikerjakan maka anak yang sudah bisa membaca (mulai umur 5) akan lari ke buku sebagai tempat untuk menghibur diri.
Sejak tahun 1995 sampai sekarang, media massa selalu memuat berita mengenai minat membaca masyarakat, terutama minat membaca anak-anak SD. Media elektronik seperti televisi juga ikut menayangkan iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan minat membaca. Tulisan di surat kabar dan tayangan iklan layanan masyarakat di televisi pada intinya menyuarakan kepihatinan terhadap minat membaca anak-anak yang masih rendah. Padahal masalah minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak SD yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya.
Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil kita tidak dididik orang tua kita untuk mencintai buku. Kalau sama-sama diberi uang saku maka anak Indonesia biasanya akan memakainya untuk membeli makanan jajanan. Itu sebabnya uang saku lebih sering dikenal dengan sebutan "uang jajan", karena memang tujuannya untuk membeli makanan. Jarang anak dididik untuk menggunakan uang sakunya untuk sesuatu yang lain, misalnya untuk menyewa buku atau membeli alat tulis atau buku. Hal-hal tersebut dianggap otomatis tugas orang tua untuk menyediakannya. Anak tidak diajar dari kecil untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhannya sendiri.
Hampir tiap tahun orang tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan minat membaca anak melalui media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak tetap rendah masih selalu terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif untuk melibatkan orang tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum banyak diteliti mengenai faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan orang tua untuk meningkatkan minat membaca anak. Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan minat membaca anak di keluarga masing-masing.
Ciska Permatasari (153080200)
Para ahli meneliti bahwa cinta buku (minat baca) biasanya lahir dari rumah. Jika orang tuanya, atau orang dewasa yang tinggal serumah, cinta buku dan senang membaca maka hampir bisa dipastikan anak juga akan gambang tertular. Jika orang tua senang membaca maka dengan mudah buku-buku akan dijumpai di berbagai tempat di rumah. Anak menjadi terbiasa melihat buku dan jika tidak ada yang dikerjakan maka anak yang sudah bisa membaca (mulai umur 5) akan lari ke buku sebagai tempat untuk menghibur diri.
Sejak tahun 1995 sampai sekarang, media massa selalu memuat berita mengenai minat membaca masyarakat, terutama minat membaca anak-anak SD. Media elektronik seperti televisi juga ikut menayangkan iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan minat membaca. Tulisan di surat kabar dan tayangan iklan layanan masyarakat di televisi pada intinya menyuarakan kepihatinan terhadap minat membaca anak-anak yang masih rendah. Padahal masalah minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak SD yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya.
Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil kita tidak dididik orang tua kita untuk mencintai buku. Kalau sama-sama diberi uang saku maka anak Indonesia biasanya akan memakainya untuk membeli makanan jajanan. Itu sebabnya uang saku lebih sering dikenal dengan sebutan "uang jajan", karena memang tujuannya untuk membeli makanan. Jarang anak dididik untuk menggunakan uang sakunya untuk sesuatu yang lain, misalnya untuk menyewa buku atau membeli alat tulis atau buku. Hal-hal tersebut dianggap otomatis tugas orang tua untuk menyediakannya. Anak tidak diajar dari kecil untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhannya sendiri.
Hampir tiap tahun orang tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan minat membaca anak melalui media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak tetap rendah masih selalu terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif untuk melibatkan orang tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum banyak diteliti mengenai faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan orang tua untuk meningkatkan minat membaca anak. Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan minat membaca anak di keluarga masing-masing.
Ciska Permatasari (153080200)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar